SyeikhAbdul Muhyi adalah Ulama tarekat Syattariah, penyebar agama Islam di Jawa Barat bagian selatan yaitu kuningan, pamengpeuk, Batuwangi, Pamijahan tasikmalaya. seorang Ulama Tarekat Syattariyah karena guru beliau adalah syeikh Abdur Rauf Singkel seorang sufi dan guru Tarekat Syattaiyah yang berasal dari Singkel-Aceh ASAL USUL DAN PENDIDIKAN
SyekhAbdul Muhyi adalah ulama besar yang hidup pada periode pertengahan abad ke-17. Syekh Abdul Muhyi lahir di Mataram sekitar tahun 1650 M dan meninggal sekitar tahun 1730 M. Salah satu bukti yang menguatkan Syekh Abdul Muhyi lahir atau berasal dari Mataram adalah adanya hubungan erat antara Syekh Abdul Muhyi dengan Mataram.
KF4pB. loading...Syeh Abdul Muhi Pamijahan dikenal sebagai waliyullah dengan segudang karomah yang dimiliki. Syekh Abdul Muhyi dikenal sebagai salah satu Wali Allah yang mempunyai segudang karomah . Syeh Abdul Muhyi sudah tak asing lagi bagi para warga di Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat. Dia merupakan anak dari Sembah Lebe Warta Kusumah yang masuh keturunan raja Galuh Pajajaran. Abdul Muhyi lahir di Mataram sekitar 1650 Masehi atau 1071 Hijriah dan dibesarkan oleh orangtuanya di Kota Gresik. Dia selalu mendapat pendidikan agama baik dari orang tua maupun dari ulama-ulama sekitar Gresik. Saat berusia 19 tahun dia pergi ke Aceh untuk berguru kepada Syekh Abdul Rauf Singkil bin Abdul Jabar selama 8 tahun. Pada usia 27 tahun dia beserta teman sepondok dibawa oleh gurunya ke Baghdad untuk berziarah ke makam Syekh Abdul Qodir Al-Jailani dan bermukim di sana dua tahun. Setelah itu diajak Syekh Abdul Rauf ke Makkah untuk menunaikan Ibadah Haji. Ketika sampai di Baitullah, Syekh Abdul Rauf mendapat ilham kalau di antara santrinya akan ada yang mendapat pangkat kewalian. Dalam ilham itu dinyatakan, apabila sudah tampak tanda-tanda maka Syekh Abdul Rauf harus menyuruh santrinya pulang dan mencari gua di Jawa bagian barat untuk bermukim di sana. Baca juga Kisah Arya Damar Membimbing Tan Eng Kian, Selir Cantik Majapahit Masuk IslamSuatu saat sekitar waktu ashar di Masjidil Haram tiba-tiba ada cahaya yang langsung menuju Abdul Muhyi dan hal itu diketahui oleh gurunya Syekh Abdul Rauf sebagai tanda-tanda tersebut. Setelah itu, Syekh Abdul Rauf menyuruh pulang Abdul Muhyi ke Gresik untuk minta restu dari kedua orangtua karena telah diberi tugas oleh gurunya untuk mencari gua dan harus menetap di salah satu daerah di Jawa Barat. Sebelum berangkat mencari gua, Abdul Muhyi dinikahkan oleh orangtuanya dengan Ayu Bakta putri dari Sembah Dalem Sacaparana putra Dalem Sawidak atau Raden Tumenggung Wiradadaha III. Tak lama setelah pernikahan, dia bersama istrinya berangkat ke arah barat dan sampailah di daerah yang bernama Darma Kuningan. Atas permintaan penduduk setempat Abdul Muhyi menetap di Darmo Kuningan selama 7 tahun. Kabar tentang menetapnya Abdul Muhyi di Darmo Kuningan terdengar oleh orang tuanya, maka mereka menyusul dan ikut menetap di sana. Di samping untuk membina penduduk, dia juga berusaha untuk mencari gua yang diperintahkan oleh gurunya, dengan mercoba beberapa kali menanam padi, ternyata gagal karena hasilnya melimpah. Sedang harapan dia sesuai isyarat tentang keberadaan gua yang diberikan oleh Syekh Abdul Rauf adalah apabila di tempat itu ditanam padi maka hasilnya tetap sebenih artinya tidak menambah penghasilan maka di sanalah gua itu berada. Karena tidak menemukan gua yang dicari akhirnya Syekh Abdul Muhyi bersama keluarga berpamitan kepada penduduk desa untuk melanjutkan perjalanan mencari gua. Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, sampailah di daerah Pamengpeuk Garut Selatan. Di sini dia bermukim selama 1 tahun untuk menyebarkan agama Islam secara hati-hati mengingat penduduk setempat waktu itu masih beragama Hindu. Setahun kemudian ayahanda Sembah Lebe Warta Kusumah meninggal dan dimakamkan di kampung Dukuh di tepi Kali Cikaengan. Beberapa hari seusai pemakaman ayahandanya, dia melanjutkan perjalan mencari gua dan sempat bermukim di Batu Wangi. Perjalanan dilanjutkan dari Batu Wangi hingga sampai di Lebaksiu dan bermukim di sana selama 4 tahun 1686-1690 M. Walaupun di Lebaksiu tidak menemukan gua yang dicari, dia tidak putus asa dan melangkahkan kakinya ke sebelah timur dari Lebaksiu yaitu di atas Gunung Kampung Cilumbu. Akhirnya dia turun ke lembah sambil bertafakur melihat indahnya pemandangan sambil mencoba menanam padi. Bila senja tiba, dia kembali ke Lebaksiu menjumpai keluarganya, karena jarak dari tempat ini tidak begitu jauh, sekitar 6 km. Suasana di pegunungan tersebut sering membawa perasaan tenang, maka gunung tersebut diberi nama Gunung Mujarod yang berarti gunung untuk menenangkan hati. Pada suatu hari, Abdul Muhyi melihat padi yang ditanam telah menguning dan waktunya untuk dipetik. Saat dipetik terpancarlah sinar cahaya kewalian dan terlihatlah kekuasaan Allah. Padi yang telah dipanen tadi ternyata hasilnya tidak lebih dan tidak kurang, hanya mendapat sebanyak benih yang ditanam. Ini sebagai tanda bahwa perjuangan mencari gua sudah dekat. Untuk meyakinkan adanya gua di dalamnya maka di tempat itu ditanam padi lagi, sambil berdoa kepada Allah, semoga gua yang dicari segera ditemukan. Maka dengan kekuasaan Allah, padi yang ditanam tadi segera tumbuh dan waktu itu juga berbuah dan menguning, lalu dipetik dan hasilnya ternyata sama, sebagaimana hasil panen yang pertama. Di sanalah dia yakin bahwa di dalam gunung itu adanya gua. Sewaktu Abdul Muhyi berjalan ke arah timur, terdengarlah suara air terjun dan kicauan burung yang keluar dari dalam lubang. Dilihatnya lubang besar itu, di mana keadaannya sama dengan gua yang digambarkan oleh gurunya. Seketika kedua tangannya diangkat, memuji kebesaran Allah. Telah ditemukan gua bersejarah, dimana ditempat ini dahulu Syekh Abdul Qodir Al Jailani menerima ijazah ilmu agama dari gurunya yang bernama Imam Sanusi. Gua yang sekarang dikenal dengan nama Gua Pamijahan diyakini adalah warisan dari Syeikh Abdul Qodir Al Jailani yang hidup kurang lebih 200 tahun sebelum Abdul Muhyi. Gua ini terletak di antara kaki Gunung Mujarod. Sejak gua ditemukan Abdul Muhyi bersama keluarga beserta santri-santrinya bermukim disana. Di samping mendidik santrinya dengan ilmu agama, dia juga menempuh jalan tarekat. Di dalam Gua Pamijahan ada 'Kopiah Haji', yaitu lekukan-lekukan bulat atap gua yang menyerupai peci. Konon jika ada yang pas saat berdiri, Insya Allah akan bisa naik haji. ada juga lubang-lubang seperti mulut gua yang dikisahkan menjadi 'jalan tembus menuju Banten, Cirebon, sampai Makkah'. Wallahu a'lam bishawab. Sekian lama mendidik santrinya di dalam gua, kemudian Syekh Abdul Muhyi mulailah menyebarkan agama Islam di perkampungan penduduk. Di dalam perjalanan, sampailah di salah satu perkampungan yang terletak di kaki gunung, bernama Kampung Bojong. Selama bermukim di Bojong dianugerahi beberapa putra dari istrinya, Ayu Bakta. Diantara putra dia adalah Dalem Bojong, Dalem Abdullah, Media Kusumah, Pakih Ibrahim. Beberapa lama setelah menetap di Bojong, atas petunjuk dari Allah, Syekh Abdul Muhyi beserta santri-santrinya pindah ke daerah Safarwadi. Di sini dia membangun masjid dan rumah sebagai tempat tinggal sampai akhir hayatnya. Dalam menyebarkan agama Islam Syekh Abdul Muhyi mengunakan metode Tharekat Nabawiah yaitu dengan akhlak yang luhur disertai tauladan yang baik. Salah satu contoh metode dalam mengislamkan seseorang adalah sewaktu dia melihat seseorang yang sedang memancing ikan. Namun orang itu kelihatan sedih karena tidak mendapat seekor ikanpun. Lalu dihampirinya dan disapa, "Bolehkah saya meminjam kailnya?" Orang itu memperbolehkannya. Syekh Abdul Muhyi mulai memancing sambil berdoa, "Bismillaah hirrohmaa nir roohiim, Asyhadu Allaa Ilaaha Illallaah, Wa Asy Hadu Anna Muhammaddur Rasulullah,". Setiap kail dilemparkan ke dalam air, ikan selalu menangkapnya. Tidak lama kemudian ikan yang didapat sangat banyak sekali sampai membuat orang tersebut keheranan dan bertanya, "Apa doa yang dibaca untuk memancing?. Dia menjawab, "Basmalah dan Syahadat". Akhirnya orang tersebut tertarik dengan doa itu dan masuk Islam. Dalam kitab Istigal Tareqat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah diceritakan beberapa kisah karomah Syekh Abdul Muhyi. Pertama, suatu hari ada orang yang dikejar-kejar sekawanan lebah, lari meminta pertolongan Syekh Abdul Muhyi. Kemudian Syekh Abdul Muhyi berseru kepada kelompok lebah itu, “Kenapa kalian lebah bersikap begitu kepada manusia. Apakah kalian tak mengerti di dalam tubuh manusia lahir dan batin ada lathoif laa ilaha illa Allah !†Lebah-lebah itu langsung mati. Lalu tubuh orang itu seperti keluar asap. Dia selamat tanpa bekas luka apapun. Kedua, saat seseorang membawa istrinya yang buta setelah melahirkan menemui Syekh Abdul Muhyi untuk minta kesembuhan. Oleh Syekh Abdul Muhyi mereka diajak dzikir, membaca kalimat tahlil laa ilaha illa Alloh sebanyak 165 kali di masjid. Tak berapa lama wanita yang buta itu pun sembuh. Ketiga, di waktu yang lain seseorang membawa anak yang terkena stroke, tubuhnya mati separuh untuk menemui Syekh Abdul Muhyi. Kemudian diajak oleh Syekh Abdul Muhyi berzikir kalimat tahlil sebanyak 165 kali. Akhirnya setelah itu anak yang stroke tadi sembuh total. Keempat, ketika ada orang yang tidak bisa tidur selama 11 hari dan minta tolong kepada Syekh Abdul Muhyi. Orang itu juga diajak berzikir sebanyak 165 kali dan lagi-lagi orang tadi akhirnya bisa tidur. Kelima, Syekh Abdul Muhyi juga menolong orang lewat karomahnya untuk memperbanyak hasil panen dan ternak kerbau. Keenam, Syekh Abdul Muhyi juga dikenal kesaktiannya. Beliau mengalahkan dua tukang sihir sakti, dan kemudian dua penyihir itu menjadi murid-muridnya Di samping ahli dalam llmu agama Syekh Abdul Muhyi juga ahli dalam ilmu kedokteran, ilmu hisab, ilmu pertanian dan juga ahli seni baca Alquran. Maka pada saat itu banyak para wali yang datang ke Pamijahan untuk berdialog masalah agama seperti waliyullah dari Banten Syekh Maulana Mansyur, putra Sultan Abdul Patah Ageng Tirtayasa keturunan Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunungjati juga Syekh Ja’far Shodiq yang makamnya di Cibiuk, Limbangan- Garut. Makam Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan, Tasikmalaya saat ini banyak diziarahi oleh kaum muslimin karena dikeramatkan. Sumber - saung-santri - fuad-almusawa - wikipedia dan diolah dari berbagai sumber msd
Syekh Abdul Muhyi Pamijahan diyakini sebagai waliyullah dan dihormati masyarakat pesantren. la merupakan mata rantai dan pembawa tarekat Syathariyah yang pertama ke pulau Jawa. Lebih dikenal dengari nama Haji Karang, karena pernah uzIah dan khalwat di Gua Karang. Di pintu gerbang makamnya yang terle tak di Pamijahan Tasikmalaya, tertera tulisan Sayyiduna Syaikh al-Hajj Waliyullah Radhiyullahu. Abdul Muhyi dilahirkan tahun 1650 di Mataram. Mataram di sini ada yang menyebut di Lombok, tetapi ada juga yang menyebut Kerajaan Mataram Islam. Ayahnya bernama Sembah Lebe Wartakusumah, bangsawan Sunda keturunan Raja Galuh Pajajaran yang saat itu bagian dari Kerajaan Mataram Jawa. lbunya bernama Raden Ajeng Tangan Ziah, keturunan bangsawan Mataram yang berjalur sampai ke Syaikh Ainui Yaqin Sunan Giri l. Kefika masih anak-anak, Abdul Muhyi telah belajar di Ampel Denta untuk mendaras berbagai disiplin keilmuan pesantren. Pada tahun 1669 M, di usia 19 tahun, Abdul Muhyi merantau hendak menuiu ke Mekah, tetapi singgah di Aceh. Di Aceh Abdul Muhyi ternyata bertemu dan belajar kepada Tengku Syiah Kuala atau Syaikh Abdur Ra’uf as-Singkili. Berbagai disiplin keilmuan dipelajari Abdul Muhyi di Kota Aceh ini, termasuk tarekat Syathariyah dari jalur Syaikh Abdur Ra’uf. Sebagai guru besar Syathariyah, Syaikh Abdur Ra'uf ini berusaha mendamaikan wujudiyah dari lbnu Arabi dengan tasawuf lain yang berkembang di kalangan masyarakat Islam. Setelah beberapa tahun di Aceh, Abdul Muhyi oleh gurunya diajak berkunjung ke makam seorang yang dikenal masyarakat sebagai Wali Quthb, Syaikh Abdul Qadir Jilani di lrak. Perjalanan diteruskan ke Mekah dan Madinah untuk menunaikan haji. Abdul Muhyi kemudian belajar di Makkah, tidak langsung pulang. Di Mekah Abdul Muhyi bertemu Syaikh Yusuf al-Maqassari, dan diduga kuat Abdul Muhyi belajar juga kepada Ahmad al-Qusyasyi, Ibrahim Kurani, dan Hasan al-Ajami,yaitu guru-guru dari AbdurRa'uf as-Singkili sendiri. Abdul Muhyi kembali dari Mekah menuju Ampel Denta pada tahun 1678 setelah mendapatkan ijazah untuk men jadi mursyid tarekat Syathariyah dari gurunya. Sekembalinya dari Ampel Denta, sang ayah menikahkannya dengan putri bernama Ayu Bekta. Setelah menikah, bersama orang tuanya, Abdul Muhyi pindah ke Jawa barat untuk menyebarkan Islam, dan berusaha mencari sebuah gua yang ditunjukkan oleh gurunya, Syaikh Abdur Ra'uf as-Singkili. Awalnya Abdul Muhyi dan keluarga menetap di Desa Darma Kuningan selama 8 tahun 1678-1685 atas permintaan masyarakat. Karena belum menemukan tujuan yang hendak dicari, sambil melakukan dakwah, Abdul Muhyi menuju ke Garut Selatan dan diminta masyarakat untuk tinggal di Pameungpeuk, Garut. Perjalanan diteruskan ke Lebaksiuh di dekat Batuwarigi. Di berbagai tempat tinggal ini Abdul Muhyi terus menyebarkan Islam secara santun dengan sentuhan hati sebagai seorang sufi. Di Lebaksiuh inilah Abdul Muhyi menemukan gua yang dikeramatkan dan wingit. Gua ini dinamakan Pamijahan, karena tempat berkembang biaknya banyak ikan. Gua Pamijahan ini berbatu karang dan penuh dengan hutan lebat, dan karenanya sering disebut juga sebagai Gua Karang. Sejak saat itu, meski kadang-kadang masih tinggal di Lebaksiuh, Abdul Muhyi lebih dikenal sebagai Haji Karang. Gua ini menjadi tempat ’uzlah dan khalwat-nya, akan tetapi di tempat tinggalnya yang terakhir, ia membangun perkampungan baru bersama para pengikutnya di sebelah barat Kampung Ojong, dan dikenal dengan sebutan Safar Wadi. Di tempat ini dia membangun masjid dan padepokan sebagai pusat penyebaran lslam dan tarekat Syathariyah. Sebagai guru Rohani, Abdul Muhyi dihormati masyarakat dan Keraton Mataram. Desanya diakui sebagai desa perdikan, yang artinya berhak mengurus urusannya sendiri secara mandiri, meskipun ada di wilayah Mataram. Meski memiliki hubungan dengan Mataram, hubungan dengan Keraton Cirebon dan Banten juga dibangun, termasuk setuju sebagian anak-anaknya menikah dengan para bangsawan dari Cirebon. Hubungan dekat juga terjadi dengan Kesultanan Banten, termasuk dengan guru Rohani di Banten, yaitu Syaikh Yusuf Tajul khalwaiti al-Maqassari, yang merupakan temannya ketika di Mekah. Ketika Syaikh Yusuf bergerilya di hutan-hutan melawan Belanda akibat keberhasilan Belanda memecah Keraton Banten, Syaikh Yusuf bersembunyi di tempat Syaikh Abdul Muhyi. Di samping sebagai pendidik, mujahid dalam menyebarkan Islam, seorang yang dikenal memiliki kemampuan linuwih, Syekh Abdul Muhyi juga seorang penulis. Dia menulis kitab dalam disiplin tarekat Syathariyah. Tokoh ini meninggal pada 1730 M atau 1151 H dalam usia 80 tahun. Dia dimakamkan di Pamijahan, yaitu di Bantar Kalong, Tasikmalaya bagian selatan, Makamnya hingga saat ini menjadi makam yang sering diziarahi oleh masyarakat NU dan masyarakat Islam pada umumnya. Sumber Ensiklopedia NU
Air Cikahuripan Masih berlanjut kisah menyusuri Goa Safarwadi Pamijahan, Setelah turun dari tempat dzikir Syekh Abdul Muhyi dan melewati tetesan zam-zam, kita menyusuri jalan yang agak panjang lagi dan di selingi air sungai. Sekitar 300 meter. lalu bertemu dengan kolam air cikahuripan. Lokasi Air Cikahuripan Disana sudah stand by 2 orang yang siap mengemas air untuk dimasukkan kedalam botol atau jirigen kosong yang kita bawa. Dia akan minta 10rb untuk botol dan 20rb untuk jerigen. Kalau tidak bawa botol/jerigen tidak usah khawatir. Kita bisa bayar 10rb dan langsung diberi botol air mineral besar ukuran liter. Tapi jangan dulu ambil air, berat! Biar disimpan saja karena perjalanan masih harus berlanjut, kita akan diajak guide yang membawa patromaks itu menuju masjid agung/masjid jami’. Masjid Jami’ Syekh Safar Wadi Dia akan menjelaskan bahwa tempat itu adalah mesjid jami’ yang biasa dipakai shalat jum’at syekh abdul muhyi bersama para santrinya. ilustrasi peta goa safarwadi Disana pun ada struktur yang menyerupai mimbar, disanalah biasanya syekh abdul muhyi berkhutbah. Seorang jama’ah lantas naik ke atas mimbar lalu adzan disana. Jama’ah Adzan di mimbar masjid Agung Goa Terusan ke Mekah Selesai adzan dan berdo’a disana, guide mengajak kami memasuki bagian goa yang akan tembus ke mekah. Bagian goa tersebut memang sangat kecil, diameternya mungkin hanya 80 cm saja. Di krangkeng dengan tralis besi. DIsana jama’ah kembali berdo’a lalu oleh sang guide kita dipersilahkan untuk mengusap mulut goa, sambil berdo’a keinginan kita 🙂 Mungkin supaya mirip sikap kita terhadap hajar aswad begitu ya? karena kan tembus ke mekah. Tak lupa, kita diarahkan untuk masuk dari sisi kanan goa, lau keluar dari sisi kiri agar rapih, dan disana sudah tersedia papan kardus dengan uang 10-20rb milik sang guide. Silahkan sedekah 🙂 Goa Terusan ke Surabaya & Cirebon Perjalanan menyusuri gua belum selesai, kita akan diajak menyusuri terusan goa yang diinformasikan menembus ke surabaya ke kediaman Sunan Ampel dan ke Cirebon tempat kediaman Sunan Gunung Jati. Disana pun jama’ah berdo’a. Peta gua bersumber dari Internet Majlis Ta’lim Kaum Akhwat & Peci Haji Lalu kita akan diajak untuk mengunjungi Majlis ta’lim tempat para kaum akhwat mengaji dan dilanjutkan ke tempat fenomenal peci haji, dimana para penziarah dipersilahkan untuk mencoba satu-satu lubang peci yang berjumlah 9 lubang disana, dan terus berdo’a mudah-mudahan Allah SWT memberi rejeki untuk naik haji ke tanah suci. Aamiin. Struktur goa bagian Peci Haji Jama’ah antri mencoba Peci haji Apa hukum Ngalap Berkah ? Apakah cara beribadah dengan cara mengusap goa ke mekah sambil “ngalap barokah” dan mencoba “peci haji” sambil berdo’a ada dalilnya? Dan apa hukumnya? Mengutip dari ceramah Ustadz Abdul Somad disini Definisi Barokah Beliau berkata bahwa tabarruk diambil dari kata barokah yang berarti lebih dari semestinya. Analogi sederhanananya misalnya bangunan di prediksi bertahan 10 tahun oleh insinyur ternyata karena dirawat dengan baik bisa bertahan hingga 15 tahun, maka yang 5 tahun adalah barokah. Atau Prediksi Uang cukup sampai tanggal 28 tapi ternyata karena hemat bisa bertahan hingga tanggal 5 bulan berikutnya, itu barokah, atau kata dokter 2 minggu lagi Anda mati, ternyata masih hidup hingga 2 tahun, itu barokah. Lalu bagaimana dengan nyari/ngalap berkah? Kalau hukumnya ngalap berkah dengan benda yang ditinggalkan nabi, ada kisah saat shabat khalid bin walid kehilangan peci, kata para shabat, peci seperti itu banyak yang jual. Kata khalid, disitu ada rambut Nabi! Khalid ibn walid ternyata ngalap barokah dari rambut nabi! Ada juga hadits berikut وحدثنا ابن أبي عمر ، حدثنا سفيان ، سمعت هشام بن حسان ، يخبر عن ابن سيرين ، عن أنس بن مالك ، قال ” لما رمى رسول الله صلى الله عليه وسلم الجمرة ونحر نسكه وحلق ناول الحالق شقه الأيمن فحلقه ، ثم دعا أبا طلحة الأنصاري فأعطاه إياه ، ثم ناوله الشق الأيسر ” ، فقال ” احلق فحلقه ، فأعطاه أبا طلحة ” ، فقال ” اقسمه بين الناس ” * Artinya Berkata Imam Muslim ; Menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, menceritakan kepada kami Sofyan, Aku mendengar dari Hisyam bin Hassan, di ceritakan dari Ibnu Sirin, dari Anas bin Malik, beliau berkata ” Manakala Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam telah melaksanakan lemparan jumrah, dan menyembelih korbannya, dan mencukur rambutnya, Si pencukur memulai dengan mencukur bahagian rambut Rasul yang sebelah kanan, kemudian Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam memanggil Abu Tholhah al-Ansori, dan Rasululllah Salallahu Alaihi Wasallam beri rambut itu kepadanya, kemudian si pencukur memegang bahagian yang kiri, Rasul berkata ” Cukurlah ” maka si pencukur pun mencukur Rambutnya Rasul yang bahagian kiri, Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam memberikan rambut itu kepada Tolhah, kemudian beliau berkata ” Bagi-bagikanlah kepada orang-orang . Hadis ini di keluarkan juga oleh Bukhari dengan lafaz yang sedikit berbeda, di keluarkan juga oleh Abu Daud , Tirmidzi, Shohih Ibnu Hibban, Mustadrak Imam Hakim, Musnad Imam Ahmad. Berkata Imam Nawawi didalam mejelaskan hadis ini ” Sebahagian dari pengajaran yang diambil dari hadis ini adalah bertabarruk dengan rambut Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam dan boleh menyimpannya untuk bertabarruk Syarah Sohih Muslim 62 / 5, Dar Hadis . Berkata Muhammad Syamsul Haq al-Azhim Abadi ” Berkata Syaukani ” Pada hadis ini menyatakan di syari`atkannya bertabarruk dengan rambut orang-orang yang mulia dan seumpamanya. Aunul Ma`bud Syarah Sunan Abu Daud 94 / 4 Berkata Imam Mubarakfuri “Hadis ini menunjukkan disyari`atkannya bertabaruk dengan rambut orang-orang yang mulia dan seumpamanya ” Tuhfatu al-Ahwadzi Bi Syarhi Jami at-Tirmidzi 347 / 3 , Dar Hadis . Gimana kalau rambut ustadz? Disitu lah ada perbedaan pendapat ulama dalam kitab Mafahim yajibu antushohah pemahaman yang harus di benarkan Karya Sayyid Muhammad bin Alwi Almaliki dijelaskan mengenai orang yang ngusap-ngusap. Mana dalilnya? Syekh muhammad sayyid almaliki membolehkan orang mengusap mimbar bekas mimbar nabi. Tapi ulama ikhtilaf tentang tabarruk kepada ulama. Misalnya dengan bekas air minum ulama. Para ulama memakai hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ “Ulama adalah pewaris para nabi.” HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda radhiallahu anhu, Dulu sahabat minta tahnik kepada Rasulullah SAW, tapi ko sekarang ke ulama? lah ulama ini kan ada nikotinnya. Kata yang setuju, ini kan kaya zam zam. Ustadz Abdul Somad mengakhiri jawabannya dengan “Jadi fahami lah yang saya jelaskan. Wallahu a’lam” Dalam penjelasan lainnya, Syekh Abdul Somad menjelaskan “Muliakan ulama kita, memuliakan ulama bukan sekedar meminum bekas minumnya, tabarukan, ngalap barokah, walaupun itu nggak salah karena ada dalilnya. Tapi lebih dari itu, adalah mengambil silsilah ilmunya,” kata ustadz asal Riau ini saat mengisi tabligh akbar di Masjid Baitul Hakim, Cipinang, Jakarta Timur, Sabtu 04/11/2017. Ustadz Shomad pun sempat bercerita tentang Syeikh Yusuf Al-Qaradawi yang datang ke Kairo. Saat itu, lanjutnya, beliau tidak bisa tinggal di Mesir karena berlawanan politik dengan Husni Mubarak – Presiden Mesir saat itu. “Ketika Abdul Shomad kuliah di Mesir pada tahun 1998 sampai 2002, Syeikh itu datang ceramah di masjid-masjid, namun tidak diperbolehkan membicarakan tentang politik,” lanjutnya menuturkan pengalaman diri. “Saya penasaran dengan yang namanya Syeikh Qaradawi, saya lihat dia pun duduk ceramah, habis ceramah, dia duduk minum, sehabis minum, berebut mahasiswa meminum bekas minumnya. Dan saya lihat itu mahasiswa yang berebut itu mahasiswa Indonesia,” katanya disambut tawa para jamaah yang hadir. Kembali ditegaskan olehnya, yang tidak kalah penting adalah mengambil silsilah keilmuan dari para ulama dan membaca buku-bukunya. “Memahami metodologi ijtihadnya, yang terpenting adalah pola pikirnya, ini penting memuliakan ulama kita,” ungkapnya. Ia lantas menyebut nama ketua MUI pertama, Buya Hamka yang belum ada penggantinya meski sudah lama meninggal. KH Ahmad Dahlan pun sudah lama meninggal namun sampai saat ini belum tergantikan, “KH Zainuddin MZ, kita belum melihat gantinya, tapi kalau direktur perusahaan, anggota DPR, belum meninggal pun, penggantinya sudah ada,” tutupnya yang membuat para jamaah tertawa.